JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah mengkaji aturan internal yang akan melarang para tersangka korupsi menutupi wajah saat diperlihatkan ke publik. Namun, rencana tersebut menuai kritik dari sejumlah pihak, termasuk anggota Komisi III DPR RI, Soedeson Tandra.
Menurut Soedeson, kebijakan semacam itu berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM), karena status tersangka belum berarti seseorang terbukti bersalah secara hukum.
“Saya tidak setuju dengan rencana itu. Karena ini menyangkut hak asasi manusia. Orang yang ditangkap KPK itu masih berstatus tersangka, belum tentu dia bersalah,” kata politisi Partai Golkar tersebut seperti dikutip dari sumber okezone, Jumat (18/7/2025).
Ia menilai, jika tersangka ditampilkan ke publik tanpa penutup wajah, hal itu bisa menciptakan opini publik seolah-olah yang bersangkutan sudah bersalah. Ini, lanjutnya, berpotensi menjadi bentuk “trial by the public” dan bisa merusak asas praduga tak bersalah.
“Kalau ditampilkan begitu, tujuannya apa? Kalau membentuk opini bahwa tersangka pasti bersalah, berarti KPK sudah seperti menjadi hakim,” ujarnya.
Soedeson juga menegaskan bahwa hanya pengadilan yang memiliki kewenangan untuk memutuskan apakah seseorang bersalah atau tidak dalam suatu kasus pidana. Karena itu, ia mengingatkan KPK agar lebih fokus pada tugas utamanya, yakni mengumpulkan bukti dan menelusuri aliran dana hasil korupsi.
“KPK sebaiknya konsentrasi saja untuk mengusut tuntas kasus dan mengejar pengembalian kerugian negara. Tujuan utama penegakan hukum itu bukan semata menghukum orang, tapi memulihkan keuangan negara,” jelasnya.
Ia pun mengingatkan bahwa penegakan hukum harus tetap berada dalam koridor hukum.
“Menegakkan hukum tidak bisa dengan cara melanggar hukum. Jangan sampai penegakan hukum justru mengabaikan prinsip keadilan,” tandasnya.