Sorotan Terhadap Istri Menteri UMKM, Pakar Hukum Tegaskan Tidak Ada Pelanggaran

JAKARTA – Agustina Hastarini, istri Menteri Koperasi dan UKM Maman Abdurrahman, menjadi sorotan publik setelah beredarnya surat permohonan dukungan kepada sejumlah Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Eropa. Surat tersebut berkaitan dengan rencana perjalanannya mendampingi sang anak yang mewakili Indonesia dalam ajang festival budaya internasional bersama tim sekolah.

Agustina menegaskan bahwa perjalanannya bersifat pribadi, dilakukan dalam kapasitasnya sebagai orang tua dari peserta misi budaya. Namun karena membawa misi kebudayaan Indonesia, permohonan dukungan diajukan kepada KBRI di negara tujuan.

Menanggapi polemik ini, pakar hukum dan hubungan kelembagaan, Muhammad Merza Berliandy akrab disapa Bang Mimi menyatakan bahwa tindakan tersebut sah secara hukum dan tidak melanggar etika kenegaraan.

“Permintaan dukungan seperti ini boleh saja dilakukan, asalkan melalui prosedur yang benar dan tidak melibatkan penyalahgunaan jabatan atau fasilitas negara,” jelas Bang Mimi, Senin (7/7/2025).

Bang Mimi yang merupakan Founder Firma Hukum Berliandy & Partners, Wakil Ketua DPC PERADI SAI Jakarta Timur, dan Ketua Komite Tetap Hubungan Kepemerintahan KADIN Jakarta Timur, mengacu pada UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri yang menyebutkan bahwa salah satu fungsi KBRI adalah memberikan perlindungan dan dukungan kepada Warga Negara Indonesia (WNI), termasuk dalam kegiatan budaya dan sosial.

“Selama kegiatan itu membawa nama Indonesia di ranah internasional, KBRI memang seharusnya dilibatkan. Ini adalah bagian dari tugas diplomatik,” tambahnya.

Meskipun demikian, ia mengingatkan pentingnya menjaga jarak yang jelas antara kapasitas pribadi dan posisi sebagai istri pejabat negara. Jika tidak menggunakan anggaran negara dan hanya memohon dukungan administratif atau moril dari KBRI, maka tidak ada pelanggaran yang terjadi.

Dalam surat yang beredar, permohonan dukungan ditujukan untuk mendampingi misi budaya, bukan untuk kepentingan pribadi wisata atau kegiatan nonrepresentatif. Oleh karena itu, menurut kajian hukum, hal tersebut termasuk dalam kategori kegiatan sah secara diplomatik.

Bang Mimi juga menyebut bahwa WNI, tanpa memandang jabatan atau status sosial, berhak mendapat pelayanan dari KBRI saat berada di luar negeri. Bahkan, penggunaan fasilitas diplomatik oleh warga negara Indonesia di luar negeri baik individu, pelajar, maupun delegasi budaya diatur secara jelas dalam beberapa regulasi, termasuk:

  • UU No. 37 Tahun 1999 (Hubungan Luar Negeri)
  • UU No. 6 Tahun 2011 (Keimigrasian)
  • UU No. 39 Tahun 1999 (Hak Asasi Manusia)

“Kegiatan yang membawa nama Indonesia, meskipun dilakukan oleh individu atau lembaga non-pemerintah, memiliki nilai strategis. Maka keterlibatan KBRI sebagai pendamping sangat dibenarkan,” ujarnya.

Bang Mimi juga mengapresiasi langkah Menteri Koperasi dan UMKM, Maman Abdurrahman, yang secara terbuka melaporkan perihal ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menunjukkan transparansi.

“Respons Pak Menteri sangat bijak. Ini adalah bentuk klarifikasi yang sehat dalam demokrasi, dan menunjukkan bahwa pemerintah terbuka terhadap kritik publik,” tegasnya.

Hingga kini, tidak ada bukti penggunaan anggaran negara dalam perjalanan tersebut. Bang Mimi menyimpulkan bahwa permohonan dukungan kepada KBRI dalam konteks kegiatan kebudayaan yang membawa nama bangsa adalah langkah yang sah, selama mengikuti kaidah administratif dan tidak mencampurkan ranah pribadi dengan jabatan publik. (KI)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *