PONTIANAK – Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana menerapkan kebijakan pembelian gas LPG 3 kilogram menggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) mulai tahun 2026.
Kebijakan ini dimaksudkan untuk memastikan subsidi tepat sasaran. Namun, rencana ini mendapat sorotan dari Wakil Gubernur Kalimantan Barat, Krisantus Kurniawan.
Krisantus menilai kebijakan tersebut tidak efektif dalam membatasi akses gas bersubsidi hanya untuk masyarakat kurang mampu. Pasalnya, seluruh warga negara Indonesia, termasuk kalangan mampu dan konglomerat, memiliki NIK yang sama-sama terdaftar dalam KTP.
“Kalau hanya pakai NIK, itu bukan proteksi. Semua orang punya KTP, termasuk orang kaya. Jadi mereka juga bisa beli gas 3 kilo. Itu terlalu ringan cara membatasinya,” kata Krisantus, Jumat (29/8/2025).
Menurutnya, proteksi yang tepat justru harus berbasis data kemiskinan yang valid dan terkini. Ia mengkritik penggunaan data lama dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang dinilainya sudah tidak relevan.
“Proteksi yang benar itu dengan mendata ulang. Pemerintah daerah punya data mana masyarakat yang benar-benar tidak mampu. Mereka yang harus masuk daftar penerima gas 3 kilo bersubsidi,” tambahnya.
Krisantus mendorong agar pemerintah pusat lebih melibatkan pemerintah daerah dalam pemutakhiran data masyarakat miskin, guna memastikan subsidi energi diberikan secara adil dan tepat sasaran.
Kebijakan pembelian LPG 3 kg dengan NIK ini memang masih dalam tahap perencanaan. Pemerintah berharap mekanisme ini bisa mencegah kebocoran subsidi dan penyalahgunaan distribusi gas bersubsidi.
Namun, pernyataan dari Wakil Gubernur Krisantus menunjukkan bahwa implementasinya perlu dikaji lebih dalam agar tidak menimbulkan ketimpangan dan ketidakadilan di lapangan.