PONTIANAK — Dalam rangka memperingati Hari Tani Nasional, Gubernur Kalimantan Barat, Ria Norsan, menggelar pertemuan terbuka dengan perwakilan dari berbagai elemen masyarakat di Kantor Gubernur Kalbar, Rabu (24/9/2025). Pertemuan ini menjadi wadah dialog antara pemerintah daerah dan perwakilan buruh, petani, nelayan, serta masyarakat adat.

Dalam pertemuan tersebut, berbagai persoalan krusial disampaikan langsung kepada gubernur, mulai dari isu ketenagakerjaan hingga konflik agraria.

Dari sektor buruh, Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) bersama sejumlah serikat pekerja lainnya menyoroti rendahnya upah buruh, khususnya di sektor perkebunan sawit. Mereka juga mempersoalkan status kerja yang tidak tetap serta praktik pembayaran tali asih yang dinilai tidak adil. Selain itu, mereka mengkritisi absennya perjanjian kerja yang kerap berujung pada kriminalisasi terhadap pekerja.

Dari kalangan petani, Serikat Tani Serua Kubu Raya mendesak penyelesaian konflik lahan dengan PT Sintang Raya. Mereka juga menuntut realisasi pembagian hasil plasma 20 persen yang belum terealisasi. Selain itu, petani mengeluhkan praktik kriminalisasi terhadap aktivitas pembukaan lahan dengan cara membakar, meskipun dilakukan secara tradisional.

Sementara itu, perwakilan nelayan dari Desa Kuala Karang mengangkat tiga persoalan utama:

1. Perampasan lahan dan pendangkalan laut yang mengganggu aktivitas nelayan.
2. Sulitnya akses mendapatkan BBM subsidi, terutama ketika harga jual hasil tangkapan menurut.
3. Tuntutan agar pemerintah memperhatikan kesejahteraan nelayan melalui kebijakan yang berpihak.

Dari pihak masyarakat adat, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) meminta perlindungan terhadap wilayah adat, penghentian kriminalisasi terhadap aktivitas pembukaan lahan tradisional, serta penolakan alih fungsi lahan pertanian menjadi konsesi perusahaan.

Tanggapan Gubernur

Menanggapi berbagai aspirasi tersebut, Gubernur Ria Norsan menyatakan akan menindaklanjuti laporan yang disampaikan. Ia menegaskan akan melakukan verifikasi untuk menentukan pihak yang bertanggung jawab, baik dari pemerintah daerah, pemerintah pusat, maupun pihak swasta.

Untuk persoalan perburuhan, Norsan berjanji akan berkoordinasi dengan instansi terkait guna mengevaluasi penetapan upah minimum sesuai regulasi yang berlaku.

Terkait konflik plasma dan pembagian lahan, ia menyatakan akan segera berkomunikasi dengan kementerian terkait serta kepala daerah. Selain itu, ia akan memanggil manajemen PT Sintang Raya dan mengambil langkah tegas bila ditemukan pelanggaran hak-hak masyarakat.

“Kami akan segera menindaklanjuti. Jika ini terkait perda atau pergub, itu akan menjadi prioritas,” tegasnya.

Aturan Pembakaran Lahan

Norsan juga menegaskan bahwa Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2022 tentang pembukaan lahan melalui pembakaran terbatas masih berlaku. Masyarakat diperbolehkan membuka lahan maksimal dua hektare, dengan catatan harus mengikuti prosedur ketat.

“Yang terpenting, jangan membakar saat matahari terik karena api bisa cepat membesar dan sulit dikendalikan,” ujar Norsan.(TR)