JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pendahuluan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), pada Selasa (29/7/2025) di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara Nomor 116/PUU-XXIII/2025 ini diajukan oleh seorang advokat, Syamsul Jahidin.
Pemohon menguji konstitusionalitas Pasal 40 UU Polri yang menyebutkan bahwa, segala pembiayaan yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan tugas Komisi Kepolisian Nasional dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Menurut Syamsul, ketentuan tersebut tidak memuat secara eksplisit sumber pembiayaan dan mekanisme anggaran bagi institusi Polri secara keseluruhan.
Di hadapan Majelis Hakim Konstitusi yang dipimpin Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Syamsul menyampaikan bahwa tidak adanya pengaturan mengenai transparansi, akuntabilitas, serta pertanggungjawaban penggunaan anggaran Polri dalam undang-undang tersebut merupakan bentuk kekosongan hukum (legal vacuum). Ia menilai hal ini berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan membuka ruang multitafsir.
“UU Polri tidak memberikan kejelasan mengenai sumber dan mekanisme pembiayaan Polri. Hal ini bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa APBN dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” ujar Syamsul.
Lebih lanjut, Syamsul menegaskan bahwa besarnya anggaran Polri yang mencapai Rp126 Triliun pada 2025 seharusnya disertai dengan mekanisme pengawasan yang transparan.
“Tidak jelasnya diatur mekanisme anggaran dalam UU Polri yang merupakan kekosongan hukum yang berpotensi melemahkan fungsi pengawasan keuangan negara oleh publik termasuk didalamnya Pemohon Padahal Faktanya Polri merupakan institusi pengguna APBN yang sangat besar hingga Rp. 126 Triliun pada Tahun 2025. Hal tersebut bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1),” imbuhnya.
Syamsul juga mengemukakan bahwa kekosongan norma dalam Pasal 40 UU Polri berpotensi membuka ruang bagi Polri untuk memperoleh dana dari luar APBN, seperti dari pihak swasta atau kelompok tertentu.
“Hal ini berbahaya karena dapat menimbulkan konflik kepentingan, mengancam netralitas Polri, dan membuka celah penyimpangan serta potensi korupsi,” ujarnya.
Ia juga menyinggung bahwa selama ini tidak tersedia laporan keuangan Polri yang dapat diakses publik. Menurutnya, hal ini menambah kuat dugaan bahwa institusi Polri menjadi satu-satunya lembaga negara yang tidak diawasi secara sistematis terkait penggunaan keuangannya.
Dalam permohonannya, Pemohon turut mengacu pada Putusan MK Nomor 136/PUU-XXII/2024 yang menekankan pentingnya kepastian hukum dan sinkronisasi antar norma hukum dalam sistem negara hukum Indonesia.
Ia menyebut bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan yang tidak konsisten, tidak harmonis, dan membuka ruang multitafsir bertentangan dengan prinsip negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Mengakhiri permohonannya, Pemohon meminta Mahkamah menyatakan bahwa Pasal 40 UU Polri bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 23 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 serta tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan Pemohon, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menekankan pentingnya penguraian syarat kerugian konstitusional dalam permohonan uji materi.
“Apa sebenarnya kerugian yang Saudara alami akibat berlakunya ketentuan Pasal 28 ayat (3) dan penjelasannya? Apakah ada hak konstitusional Saudara yang dirugikan atau tercederai?” ujarnya.
Enny menambahkan, apabila tidak ada hak yang dirugikan, maka Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 tidak dapat dijadikan dasar, karena pasal tersebut merupakan prinsip negara hukum, bukan hak konstitusional perseorangan.
“Saudara harus menguraikan dengan jelas dan spesifik mengenai kerugian konstitusional yang dialami. Apakah benar dirugikan? Harus ada bukti, dan hubungan sebab akibatnya juga harus dijelaskan,” tegasnya.
Di akhir persidangan Majelis Hakim memberikan waktu 14 hari kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonannya. Permohonan paling lambat diterima Kepaniteraan MK pada Senin 11 Agustus 2025 pukul 12.00 WIB. (*)